Minggu, 02 Juni 2019

SEJARAH MUHAMMADIYAH DI ALABIO


Sejarah awal masuknya Muhammadiyah di Kalimantan Selatan tidak bisa dipisahkan dari peran dua orang tokohnya, yaitu H. M. Jaferi dan H. Usman Amin. Oleh karena itu, sebelum membahas tentang eksentensi Muhammadiyah Kalimantan Selatan saat ini, maka terlebih dahulu dipaparkan tentang biografi H.M. Jaferi.
M. Japeri putera dari ayah H. Umar dan Ibu St. Hawa, ia lahir pada tahun 1292 H, kira-kira tahun 1875 M. Ia berasal dari keluarga yang terkemuka dan terpandang di Alabio. Kakeknya dari pihak bapaknya bernama H. Saefuddin terkenal sebagai seorang yang kuat fisik dan berani. Dua saudara kakeknya itu, H. Aminuddin dikenal karena kayanya dan H. Alimuddin karena alimnya.
Sejak umur 6 tahun sebagai biasa dilakukan oleh anak-anak lainnya, M. Japeri mulai belajar membaca Alquran yang dapat dikhatamkannya dalam waktu satu setengah tahun. Setelah itu melanjutkan belajar membaca kitab agama. Mula-mula di Alabio, kemudian ke Nagara (Kab. Hulu Sungai Selatan kini), setelah itu ke Pamangkih (Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekarang) dan ke Kelua (Kabupaten Tabalong sekarang).
Dalam usia 15 tahun, ia naik haji dan tinggal bermukim di Mekkah untuk mengkaji agama selama 5 tahun. Dikenal sebagai seorang yang sangat giat belajar, hingga sampai di waktu tidur malam hari menggunakan bantal dari buah kelapa, sebagai yang pernah sebelumnya dilakukan oleh ulama besar Kalimantan alm. Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang kini bermakam di Kelampaian, Martapura.

Dalam usia lebih kurang 20 tahun H. M. Japeri kembali ke Alabio, kawin dengan Hj. St. Safiah yang kemudian melahirkan 4 orang anak lelaki, yaitu Abdul Karim Japeri (sudah meninggal, yang kemudian kawin dengan St. Hadijah, mak cilik dari K.H. Zuchlah Kusumo dan H. Djarnawi Kusumo), M. Hasan Japeri, M. Kasyful Anwar Japeri (kini Naib dan Kepala Madrasah Mualimin Muhammadiyah di Alabio) dan Achmad Tajuddin Japeri (kini pedagang di Banjarmasin).
Dengan usia yang masih muda dan fisik yang segar, dengan tubuhnya yang tinggi semampai tapi berisi dengan kulitnya yang putih hingga mudah menarik perhatian, beliau mulai mengajar agama. Dan sudah termasuk seorang ulama muda. Seorang yang agak pendiam, tapi ramah.
Kegiatan yang dilakukannya ialah membangun sebuah balai, yaitu untuk langgar/mushalla, yang di Alabio lazim dinamakan “madrasah”. Selain untuk tempat shalat jamaah lima waktu, juga untuk tempat memberikan pengajian agama sebelum dan sesudah shalat.
Bagi kaum pria diberikan pengajian agama secara khusus tiap hari Ahad, hingga termashur dengan sebutan me-Ahad. Bagi kaum wanita diberikan pada hari Senin yang mashur dengan sebutan “nyenayan”. Tiap hari Selasa memberikan pelajaran ke luar Alabio, yaitu ke kampung Jarang Kuantan (dekat Amuntai) dilakukan dengan naik kereta kuda, perahu atau mobil. Hari-hari Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu merupakan hari cadangan untuk memenuhi undangan ke tempat-tempat lain.
Jadi dalam satu minggu semua hari digunakan dan disediakan untuk kepentingan pengajian atau dakwah Islamiyah.
Bagian bawah dari madrasah dijadikan pondokan bagi santri (penuntut agama) yang datang mengaji berasal dari Kelua, Tanjung, Tawia (Kandangan), Rantau, Negara, dan lain-lain.
Hari-hari besar Islam terutama Idul Fitri dan Idul Adha disambut dan dirayakan besar-besaran di antaranya dengan   menyembelih kerbau sampai 5 atau 6 ekor. Diskusi-diskusi agama selalu beliau adakan dengan para ulama Alabio.
Dalam usia 32 tahun, pada tahun 1907 setelah 12 tahun mengajar, beliau diangkat menjadi khatib Mesjid Jami’ Alabio yang dipegangnya sampai wafatnya.
Pada tahun 1908 diangkat menjadi anggota Road Agama dan pernah diminta untuk menjadi mufti di Amuntai, tetapi beliau tolak, karena merasa lebih suka menjadi orang swasta.
Rumah beliau selalu ramai dikunjungi penduduk dengan bermacam-macam maksud. Ada yang bertanya masalah agama, ada yang minta pikiran dan nasehat mengenai kesulitan-kesulitan yang terjadi, seperti masalah faraid, kesulitan rumah tangga antara suami isteri, bahkan sampai masalah jual-beli, keuangan, dan lain-lain.
A. Menerima Benih Muhammadiyah
H. M. Japeri seorang ulama yang giat mengajar dan berdakwah, juga giat belajar. Kitab-kitab yang memenuhi almari kitabnya, kebanyakan berbahasa Arab dan tidak hanya menjadi pameran atau pajangan. Tetapi dibaca, terbukti dari adanya catatan-catatan dengan potlot atau dawat yang terdapat dipinggir halaman kitab-kitab itu.
Dan untuk lebih menambah pengetahun, beliau berlangganan majalah “Al-Munir” yang diterbitkan di Sumatera Barat.
Ketika Serikat Islam berkembang di Kalimantan, maka di Alabio juga berdiri cabangnya pada tanggal 22 Desember 1914. pemimpin SI dari Jawa, alm. H. O. Tjokroaminoto pernah datang ke Kalimantan, termasuk ke Alabio. H. M. Japeri termasuk anggota SI di Alabio.
Di Surabaya, ketika itu bertempat tinggal seorang berasal dari Alabio, yaitu alm. H. Usman Amin, seorang pedagang dan terkemuka di kalangan masyarakat Banjar (Kalimantan) dan penduduk Surabaya di Surabaya, dengan H. Usman Amin yang menjadi sahabatnya, H. M. Japeri sering mengadakan hubungan surat menyurat. Dari H. Usman Amin, H. M. Japeri mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah gerakan Islam di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang bermaksud menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber Alquran dan Sunnah Rasul, dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah, balai-balai kesehatan, panti-panti asuhan dan memelihara mesjid-mesjid, gerakan itu ialah Muhammadiyah.
H. M. Japeri sejak dari masa mengajinya di Mekkah kemudian dengan hasil bacaannya dari majalah-majalah, memang sudah selalu mengikuti perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam, baik di Indonesia sendiri, terutama di Jawa dan Sumatera, maupun di luar negeri seperti Mesir, Arabia, India, dan lain-lain.
Semuanya itu menimbulkan rasa serasi dengan apa yang diterangkan oleh H. Usman Amin tentang Muhammadiyah kepadanya.
Sebelum secara resmi menerima dan menabur benih Muhammadiyah di Alabio, H. M. Japeri sudah mulai berusaha dengan lebih sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan memajukan umat Islam di Alabio dan sekitarnya, yakni dengan jalan mengajak persatuan, memberikan pengajaran dan tabligh sepanjang kemauan ajaran agama Islam, berdasarkan Alquran dan Sunnah. Bersungguh-sungguh beliau merubah ke arah sikap yang baru. Menggantikan yang kolot dengan cara yang modern, yang tidak lepas dari rel agama.
Sejak itu sudah mulai beliau dapati tantangan dan reaksi dari ulama lainnya dan juga dari masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan-perubahan itu. Sejak itu sudah beliau terima pahit getir dan kesukaran dalam usahanya mencari keridhaan Allah.
Dalam bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta. Sengaja pergi sendiri mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS met de Quran yang didirikan oleh Muhammadiyah. Ditemani oleh H. Usman Amin dari Surabaya. Kunjungan ke Yogyakarta itu sekaligus untuk melihat dan menyaksikan sendiri amalan-amalan usaha Muhammadiyah.
Sayang sekali beliau tidak sempat bersua dengan KH. Ahmad Dahlan, karena sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923. Yang beliau tengok ialah makam kubur KH. A. Dahlan di Karangkajen, Yogyakarta.
Yang menarik kunjungan beliau dalam kunjungan di kota Yogyakarta dengan diantar oleh seorang anggota HB Muhammadiyah ialah bangunan-bangunan dan gedung-gedung amalan usaha Muhammadiyah, yaitu sekolah-sekolah sejak SR sampai Wustha, Kweekschool dan lain-lain. Rumah-rumah pemeliharaan orang-orang miskin, orang-orang jompo, buta, anak-anak yatim. Melihat poliklinik rumah sakit dan apotiknya. Meninjau langgar, surau, mushalla dan mesjid dan percetakan “Persatuan” yang menerbitkan majalah-majalah termasuk SM Suara Muhammadiyah atau buku-buku pelajaran.
Mengunjungi pula internaat (asrama) pelajar Muhammadiyah di Ngapilan yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, di mana tamu-tamu dari Kalimantan itu dihibur dengan berbagai atraksi.
Sekembalinya dari yogyakarta dan setibanya di Alabio dalam bulan April 1923, H. M. Japeri langsung mengadakan musyawarah dengan teman-teman beliau sendiri dari ulama, hartawan, dermawan dan budiman, yang berhasil kemudian secara resmi mendirikan organisasi Muhammadiyah di Alabio.
Teman-teman beliau yang menjadi orang-orang pertama bersama beliau mendirikan Muhammadiyah di Alabio, ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H. Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah, H. Bastami, H. Achmad (penghulu), H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H. Hasbullah, H. Japeri Hambuku, Abdullah Maseri, H. Tahir (penghulu), Bastami Jantera dan lain-lain.
H. M. Japeri menjadi Anggota Muhammadiyah pertama untuk Kalimantan. Kartu anggota (bewys van Jidmaatschap) Muhammadiyah beliau bernomor I/12.541. No. 1 menunjukkan angka anggota Muhammadiyah dan No. 12.541 menyatakan jumlah anggota Muhammadiyah seluruh Indonesia dewasa ini.
Yang segera beliau dan kawan-kawan usahakan ialah mendirikan sekolah Muhammadiyah. Karena belum ada gedung sendiri, maka pertama kali sekolah itu bertempat di rumah seorang dermawan yaitu Mas Ridwan bersama isterinya.
Di tengah berbagai macam halangan dan rintangan, dengan mengatasi beraneka kesulitan, kemudian berhasil dibangun gedung untuk sekolah itu. Dengan beliau sendiri yang lebih dulu memberikan contoh memberikan dana berupa uang kontan dan bahan bangunan, maka dalam suatu pertemuan antara anggota-anggota Muhammadiyah, berhasil dikumpulkan dana yang kemudian dapat digunakan untuk membangun sebuah gedung besar dengan fondamen batu di atas tanah di batas dua kampung yaitu kampung Teluk Betung dan Pandulangan, dengan biaya ± 30.000 golden (f) pada tanggal 13 Juli 1926.
Dan setelah gedung itu disertai dengan peralatannya selesai, maka sekolah Muhammadiyah pindah dari rumah  H. Matseman ke gedung sendiri, yang mendapat sambutan hangat dan kesyukuran dari warga Muhammadiyah, khususnya H. M. Japeri karena merasa usaha dan cita-citanya yang nyata dan pertama telah terwujud.
Berturut-turut setelah itu dengan dipelopori beliau, dibangun gedung-gedung keperluan Muhammadiyah lainnya, yaitu: Kantor Pengurus Muhammadiyah lengkap dengan bibliotiknya, Rumah Panti Asuhan Yatim, Sekolah Wustha/Mualimin yang menjadi tempat mendidik guru dan kader penyebar Muhammadiyah di Kalimantan. Sekolah Aisyiyah khusus untuk tempat belajar kaum puteri/wanita. Koperasi untuk mendidik usaha bersama dan memajukan kegiatan Muhammadiyah. Penerbitan majalah bersama “Seruan Muhammadiyah” dipimpin Bastami Jantera. Dan merawat dan memelihara mesjid Jami’ Alabio.
B. Muhammadiyah  Masuk ke Alabio
H. Usman bin H. M. Amin tinggal di Lawang Agung Surabaya, pekerjaan berdagang meja kursi, almari jati (meubel), asal kelahiran Sungai Tabukan (Alabio). Beliau ini salah seorang anggota Muhammadiyah. Beliau juga termasuk orang yang terhormat di Surabaya. Beliau mendirikan “Persatuan Putera Borneo” di Surabaya. H. Usman Amin mempunyai hubungan yang baik dengan pemimpin-pemimpin di Jawa seperti KH. M. Mansur, KH. Fakih Usman, H. Agus Salim, Sangaji, Wondoamiseno, Ahmad Syurkati, Umar Hubas, Ir. M. Noer, Dr. Soetomo dan lain lain. Dalam pekerjaan beliau sebagai pedagang, beliau sangat rajin menambah ilmu pengetahuan agama, sampai-sampai belajar tetap di rumah sendiri dengan didatangi guru Ahmad Ghanaim ulama Arab dan lain-lain.
Manakala beliau mendapat kabar bahwa di negeri asalnya Alabio terjadi pergolakan hebat antara kaum muda dan kaum tua dikirimnyalah surat-menyurat (korenspondensi) dengan H. Jafri di Alabio. Diminta beliau agar H. Jafri sudi berkunjung ke Surabaya untuk melihat-lihat perkembangan pergerakan umat Islam di tanah Jawa. Pada tahun 1923 berangkatlah H. Jafri ke Surabaya dan oleh H. Usman Amin beliau dibawa ke Yogyakarta menemui Pimpinan Muhammadiyah dan melihat-lihat usaha Muhammadiyah seperti rumah sekolah, rumah yatim, rumah miskin dan lain-lain. Sempat pula H. Jafri ziarah ke makam KA. Dahlan pendiri Muhammadiyah. Perkunjungan H. Jafri ke Yogya ini menumbuhkan simpatinya dengan Muhammadiyah. Pada tahun 1923 itu beliau H. Jafri telah menjadi anggota tersiar Muhammadiyah dengan kartu anggota nomor buku 12.541.
H. Jafri mengadakan tukar pikiran dengan H. Usman Amin secara serius (sungguh-sungguh) dan sepulangnya H. Jafri ke Alabio, beliau mengadakan permusyawaratan dengan pengikutnya pada alim ulama, hartawan, tetuha-tetuha dan sebagainya mengenai Muhammadiyah. Bulatlah permurakatan, setuju mendirikan cabang Muhammadiyah di Alabio, karena asas dan tujuan Muhammadiyah sejalan dengan aliran paham yang sedang mereka anut. Tambahan lagi di Muhammadiyah sebagai suatu organisasi, berhubungan ke atas dan ke bawah menurut struktur organisasi tersebut ada pengurus besarnya (Hoofs Bestuur) yang sekarang dengan istilah pimpinan pusat, bukanlah kita berdiri sendiri sebagaimana kaum muda ini bertanggung jawab setempat.
Bertemulah ruas dengan buku, jarum dengan kalindan. Mulailah diadakan persiapan-persiapan seperti mendaftarkan anggota (calon anggota), rencana-rencana mendirikan sekolah dan sebagainya. Untuk langkah pertama adalah mendatangkan seorang guru dari Yogya yang nantinya akan mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan tuntunan-tuntunan mengenai organisasi Muhammadiyah.
Atas pertolongan H. Usman Amin berurusan dengan PP. Muhammadiyah di Yogya, datanglah seorang guru yang dimaksudkan itu pada bulan Agustus 1925. Bagi guru ini, tentunya merasa asing tinggal di Alabio yang letaknya jauh di udik pulau Kalimantan, yang dahulu dikatakan orang: Orang Borneo makan orang. Tata cara hidup di Alabio, makanan orang Alabio berbeda dengan keadaan kampung halamannya. Guru tersebut datang bersama isterinya, seorang anak kecilnya perempuan dan seorang pesuruh. Nama guru itu Ridlwan, isterinya Saringatun, anaknya Untari, dan pesuruhnya Abdullah. Isteri guru itu menyebutkan suaminya Masridluan, sedang guru itu menuliskan namanya Ridluan Hajir dan orang-orang kaum Muhammadiyahnya menyebut “guru Masridluan Hajir”.
Letaknya perbedaan-perbedaan ini begini: panggilan mas, adalah diuntukkan bagi orang yang masih muda dengan penuh kehormatan, disebabkan beliau merantau jauh ke dalam rimba Borneo, maka beliau menyebutkan dirinya orang yang pindah kediaman (hajir = muhajir).
Sejak itu mulailah Pengurus Muhammadiyah dan Sdr. Ridlwan bekerja keras mengatasi berbagai macam kesulitan mengenai izin mendirikan sekolah kepada Camat (Ass. Kiai/Ass. Wedana) dan H.P.B. Tuan Kontelir di Amuntai. Pada bulan Pebruari 1926 dapatlah dibuka dengan resmi sekolah Muhammadiyah dengan murid sebanyak 350 anak bertempat pada 5 buah rumah di Kampung Teluk Betung, yaitu rumah-rumah: H. Saman, H. Matsif, H. Saaluddin, H. Masdar dan Dakhlan Abdullah (Ja’far alm.). Untuk memperlengkap tenaga guru pada sekolah ini, didatangkan lagi beberapa orang guru secara berangsur-angsur yaitu guru-guru: As’ad Al-Kalaly dari Cerebon (Al Irsyad), Kusno, Abd. Mu’thi dari Jogja dan Tafsir dari Jogja, ditambah dengan guru-guru dari Alabio sendiri.
Rumah H. Saman adalah pusat kegiatan Muhammadiyah. Rumah tersebut dijadikan rumah sekolah. Di ruangan dalamnya tempat tinggal guru-guru Ridlwan sekeluarga, As’ad dan Kosnu. Dari pagi sampai jam 13.00 komplek ini ramai dengan murid-murid sekolah; dari jam 14.00 s.d jam 17.00 sore ramai pula dengan sekolah agama sore untuk menampung anak-anak yang waktu paginya bersekolah di SD Negeri. Waktu malam hari rumah H. Saman terang dengan lampu pompa gasoline karena diadakan lagi sekolah malam “Menyesal School”, untuk orang-orang dewasa dan tua-tua yang pakai kacamata, dengan mata pelajaran baca tulis huruf Latin dan bahasa Arab.
Memang ramai dan meriah, sebentar-sebentar kedengaran riuh tertawa. Sekolah ini banyak menghasilkan orang-orang yang bisa baca tulis huruf dan bisa bercakap-cakap bahasa Arab sekedarnya. Kadang-kadang diadakan pula tabligh-tabligh pada malam-malam tertentu.
Lantaran demikian, H. Saman yang empunya rumah untuk tempat gerakan-gerakan Muhammadiyah ini sangat banyak pengorbanannya. Tetapi beberapa orang keluarga beliau seperti: H. Birhasani, H. Asmail, H. Maswi, Dakhlan Abdullah, H.Masdar, H. Hasjim, dan lain-lain selalu memperhatikan beban tanggungan ini, yang ikut memikirkan segala-galanya.

sumber : http://kalsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar